Search This Blog

Wednesday, July 22, 2009

HINDARI OBAT IRASIONAL

*Sering Kali tidak Menyasar Sumber Penyakit
*Konsumsi obat kerap dibutuhkan untuk mengatasi penyakit. Namun perlu
diwaspadai, pemakaian obat berlebih dapat menimbulkan gangguan ginjal dan
hati.*
BEBERAPA tahun lalu, Gendi memeriksakan anaknya, Pasha, yang berusia
sepuluh bulan ke dokter langganan keluarga. Kepada dokter, ayah muda itu
mengungkapkan kekhawatirannya karena Pasha terlihat kurus. Saat mendengar
keluhan yang disampaikan Gendi, sang dokter yang bergelar profesor itu
langsung curiga Pasha terkena tuberkulosis (Tb).

Namun, setelah dilakukan uji mantoux kepada Pasha, hasilnya negatif. Dokter
kemudian menyarankan Pasha dirontgen. Didapati ada bercak putih di paru-paru
Pasha. Atas dasar itu, dokter langsung menyimpulkan Pasha terkena Tb dan
diresepkan obat anti-Tb (OAT) yang harus dikonsumsi selama enam bulan.

Setelah konsumsi obat berlangsung tiga bulan, Gendi membawa Pasha kembali ke
dokter untuk evaluasi. Saat itu, tanpa melihat kondisi Pasha lebih jauh,
dokter menyarankan konsumsi OAT diteruskan sampai genap enam bulan.

Sebulan kemudian, Gendi membawa Pasha kembali ke dokter yang sama. Tujuannya
sekadar untuk pemeriksaan rutin. Saat itulah Gendi merasa ada yang tidak
beres dengan dokter tersebut.

"Setelah melihat rekam medis (medical record) Pasha, dokter bertanya apakah
Pasha masih mengonsumsi OAT. "Padahal, sebulan lalu ia sendiri menyarankan
OAT harus diteruskan sampai enam bulan," kisah Gendi kepada Media Indonesia
di Jakarta, Senin lalu (17/1).

Karena merasa ada yang tidak beres, laki-laki asal Pejaten itu membawa Pasha
ke dokter anak lain untuk mencari second opinion. Betapa kagetnya Gendi
ketika hasil konsultasi dokter anak tersebut dengan koleganya yang ahli paru
menyatakan Pasha sebenarnya tidak pernah terkena Tb.

Selain Gendi, pengalaman 'buruk' serupa juga dikisahkan Trinovi Riastuti.
Sekitar dua tahun silam ibu yang akrab disapa Ria itu memeriksakan bayinya,
Nathan, ke dokter. Penyebabnya, pagi-pagi Nathan muntah-muntah setelah
malamnya sempat jatuh dari tempat tidur.

Berdasar cerita Ria, dokter curiga Nathan mengalami cedera otak dan
disarankan melakukan CT scan. Ia juga meresepkan obat vitamin otak untuk
membantu memulihkan Nathan. Beruntung, Ria tergolong ibu yang rajin
mempelajari pengetahuan tentang kesehatan anak.

''Saya tidak percaya dokter begitu saja. Dari melihat cara muntahnya Nathan
serta dari tukar pengalaman di milis kesehatan anak, saya justru curiga
masalah Nathan ada di saluran cernanya,'' kisah ibu asal cengkareng itu.

Ria semakin yakin Nathan bermasalah dengan saluran cernanya ketika selain
muntah Nathan juga diare. Karena itulah Ria mengurungkan niat men-CT-Scan
Nathan dan tidak jadi menebus vitamin otak yang diresepkan dokter.

"Terlebih hasil browsing di internet menyatakan efek samping vitamin otak
itu bagi bayi cukup berbahaya. Dengan menggencarkan pemberian ASI, Nathan
pulih,'' kata Ria.

Kisah Gendi dan Ria cukup memberi gambaran bahwa dokter juga bisa melakukan
kesalahan dalam menangani pasiennya. Penting bagi para orang tua untuk
membekali diri dengan pengetahuan tentang kesehatan anak agar tidak
terkecoh.

Terlebih, sebagian dokter di Indonesia belum menerapkan konsep penggunaan
obat secara rasional (rational use of drug/RUD). Mereka, sadar atau tidak,
justru masih menerapkan konsep penggunaan obat yang irasional (irrational
use of drug/IRUD).

Polifarmasi Spesialis anak dr Purnamawati S Pujiarto, SpA(K), MMPed,
mengungkapkan hal itu pada sebuah seminar tentang bahaya obat irasional yang
digelar di Kemang Medical Care, beberapa waktu lalu. ''Menurut WHO,
pengobatan yang rasional adalah pemberian obat yang sesuai kebutuhan pasien,
dalam dosis yang sesuai dan periode waktu tertentu, serta dengan biaya
serendah mungkin baik bagi pasien maupun komunitasnya, '' jelas dokter yang
juga duta WHO untuk penggunaan obat rasional ini.

Dokter yang akrab disapa Wati ini menambahkan, pola pengobatan yang rasional
juga bukan pengobatan yang tergopoh-gopoh mengobati gejala, melainkan
mencari akar permasalahan. Misalnya, mengapa batuk, mengapa diare. "Bukan
memberi resep obat batuk atau obat mampat diare," tutur Wati yang juga
Direktur Medis Kemang Medical Care itu.

Menurut Wati, perlu diketahui bahwa kasus demam, batuk, pilek, radang
tenggorok, dan diare akut tanpa perdarahan yang kerap dialami anakanak,
sebagian besar disebabkan virus dan bisa sembuh sendiri tanpa perlu obat.
Namun di masyarakat, kerap terjadi pada kasus-kasus tersebut dokter
meresepkan beberapa jenis obat.

Pemberian obat berlebihan (polifarmasi) kata Wati, merupakan salah satu
bentuk penggunaan obat irasional yang lazim ditemui. Dalam kasus tersebut
biasanya pengobatan bersifat simtomatis atau pengobatan terhadap gejala,
bukan pada sumber penyakit.

"Contohnya, ketika menghadapi pasien dengan lima keluhan dokter memberi lima
jenis obat. Pasien pun senang karena semua keluhannya sirna. Namun, hal itu
justru potensial menciptakan kondisi dengan diagnosis tetap mengambang,
bahkan bisa terlambat dideteksi," jelas Wati.

Selain polifarmasi, bentuk penggunaan obat yang irasional antara lain,
pemberian antibiotik, steroid, dan suplemen berlebihan serta peresepan obat
bermerek padahal ada generiknya.
"Minimnya informasi terkait dengan obat-obat yang diresepkan juga termasuk
praktik penggunaan obat irasional. "Biasanya informasi sebatas, ini obat
radang, ini untuk dahak, ini untuk mulas," terang Wati. (S-6)
eni@mediaindonesia. com

Tips menghindari resep obat irasional:
1. Pelajari penyakit-penyakit 'harian' seperti demam, batuk pilek, diare,
dan sakit kepala. Biasakan browsing di internet dari situs yang tepercaya,
seperti Mayoclinic, AAP, RCH, Kidshealth, CDC, WHO, BMJ, dan NEJM.
2. Ketika ke dokter, pahami, tujuannya adalah berkonsultasi, bukan sekadar
meminta secarik resep. Berdiskusilah, mintalah diagnosis dalam bahasa medis
sehingga bisa digunakan saat mencari informasi tambahan di inter net atau
sumber lain, mintalah penjelasan penyebab timbulnya masalah, diagnosis, dan
rencana penanganannya.
3. Ketika diberi resep, hitung jumlah barisnya. Jika lebih dari dua, alarm
kecurigaan terhadap praktik polifarmasi harus dipasang.
4. Tanyakan baris per baris obat ke dokter (dan farmasis), meliputi kandung
an aktifnya, mekanisme kerja, indikasi, kontra indikasi, dan risiko efek
samping.
5. Resep jangan langsung dibeli, cari informasi tambahan mengenai obat
obatan yang diresepkan. Tidak perlu khawatir kondisi akan memburuk se bab
apabila kita berada dalam kondisi gawat darurat, tentu akan langsung dirujuk
rawat inap dengan berbagai intervensi segera (pemberian oksigen, pasang
infus).
6. Mintalah resep obat generik.

Related Post by Categories



0 komentar:

Translation code

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Navigasi

My contact


Your Name
Your Email Address
Subject
Message
Image Verification
Please enter the text from the image
[ Refresh Image ] [ What's This? ]


"Award My Family In Diary"

Check Page Rank of any web site pages instantly:
This free page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service